Sabtu, 10 November 2012

Belajar Filosofi Perbuatan dari Pak Tukang

<br />
Saya tidak begitu mengerti apa itu politik. Saya juga tidak tahu apa itu fungsi keseluruhan anggota dewan perwakilan rakyat dan pemerintah. Yang saya tahu, ketika saya sekolah dulu saya di ajarkan budi pekerti. Di papan tulis ibu guru menulis dengan terang kata budi dan pekerti. Budi itu pengertiannya, setelah saya lihat di kamus bahasa Indonesia berarti; alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Pekerti mempunyai arti tingkah laku;perangai;akhlak;watak. Jadi, saya ambil kesimpulan budi pekerti adalah mata pelajaran yang mengajarkan, mendidik kemampuan kita menggunakan perasaan dan akal sehat kita dalam bertingkah laku agar lebih berbudi,bijaksana. Dari pemaparan pengertian dalam kamus tadi, ada yang membuat saya bergetar dan merasa awas dengan pengertian kalau kata pekerti dihilangkan dan ditambahkan imbuhan “mem dan per” di depan kata budi dan akhiran “kan”. Jadi, kata “memperbudikan” menjadi makna yang jauh dari pengertian baik dari budi pekerti menjadi kata “memperdayakan;menipu. Saya jadi terhenyak dan menerawang pikiran dan hati saya, kalau makna kata baik saja bisa berubah 100 persen hanya karena ditambahkan tiga imbuhan, apalagi manusia yang menerima kuasa yang sangat ampuh menggunakan kata kuasa “perwakilan rakyat

 Dalam buku terkenal Emotional Intelligence hasil sebuah penelitian Daniel Golemen, Phd, di katakan kecerdasan emosi tidaklah ditentukan sejak lahir. Argumen ini didasarkan pada sintesis yang benar-benar baru dan orisinal dari penelitian baru. Dengan cermat ia memperlihatkan bagaimana kecerdasan emosional dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri kita semua. Karena dalam tataran budi pekerti bukanlah rasionalitas atau kecerdasan otak yang mendominasi walaupun “budi pekerti” itu sendiri bisa dipelajari dengan “rasionalitas yang bersahabat dengan kecerdasan otak”. “Hati” atau dalam bahasa psikologinya empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.

Saya yakin sejak kita sudah mengenal sekolah dasar, bagi siapapun itu, pejabat, menteri, tukang loak, pengemis,petani, selagi ia bergerak di nusantara yang masih berbadan serta berjiwa satu ini, kita pasti  tahu apa itu kebaikan, menolong, sabar, jujur, tepo seliro. Mengutip kalimat ketika saya bercakap-cakap dengan kepala tukang yang berusia lebih 60 tahunan di pulau Mentawai, di pulau nun jauh dari standar kelayakan, dia bertutur begini “ kalau saya tidak teruskan pembangunan sekolah ini, apa lagi yang bisa saya wariskan kepada cucu-cucu saya ini...”. 

Jadi, walaupun ia ditentang dan tidak dibantu warganya sendiri ketika menjadi kepala tukang sekolah di daerahnya sendiri, ia hanya berbuat. Yang pasti ia sudah berbuat untuk dirinya, berbuat untuk masyarakatnya. Di lingkungan bermasyarakat perbuatan seperti bapak tadi yang lebih mementingkan kepentingan orang banyak, sangat tidak populer lagi. Hal yang dalam agama dikatakan mulia. Tantangannya adalah menjadikan perbuatan yang lebih dekat kehati daripada pikiran ini menjadi lebih layak dan keren untuk di perjuangkan. Mengutip kalimat Pramoedya Ananta Toer “Dimana-mana aku selalu dengar: yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; benar sekali. Tapi kapan ? kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti di perjuangkan untuk menjadi benar”. Semua perbuatan baik bisa dipelajari, dan mudah diajarkan, asal mau berbuat.Mungkin bisa terinspirasi dari bapak kepala tukang tadi. Berbuat tidak mesti terlihat hebat, toh ?
Mentawai, Mei 2011, Pembangunan sekolah sementara yang jauh dari layak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar