Saya
tidak begitu mengerti apa itu politik. Saya juga tidak tahu apa itu fungsi keseluruhan
anggota dewan perwakilan rakyat dan pemerintah. Yang saya tahu, ketika saya
sekolah dulu saya di ajarkan budi pekerti. Di papan tulis ibu guru menulis
dengan terang kata budi dan pekerti. Budi itu pengertiannya, setelah saya lihat
di kamus bahasa Indonesia berarti; alat batin yang merupakan paduan akal dan
perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Pekerti mempunyai arti tingkah
laku;perangai;akhlak;watak. Jadi, saya ambil kesimpulan budi pekerti adalah
mata pelajaran yang mengajarkan, mendidik kemampuan kita menggunakan perasaan
dan akal sehat kita dalam bertingkah laku agar lebih berbudi,bijaksana. Dari
pemaparan pengertian dalam kamus tadi, ada yang membuat saya bergetar dan
merasa awas dengan pengertian kalau kata pekerti dihilangkan dan ditambahkan
imbuhan “mem dan per” di depan kata budi dan akhiran “kan”. Jadi, kata
“memperbudikan” menjadi makna yang jauh dari pengertian baik dari budi pekerti
menjadi kata “memperdayakan;menipu. Saya jadi terhenyak dan menerawang pikiran
dan hati saya, kalau makna kata baik saja bisa berubah 100 persen hanya karena
ditambahkan tiga imbuhan, apalagi manusia yang menerima kuasa yang sangat ampuh
menggunakan kata kuasa “perwakilan rakyat
Dalam
buku terkenal Emotional
Intelligence hasil sebuah
penelitian Daniel Golemen, Phd, di katakan kecerdasan emosi tidaklah ditentukan
sejak lahir. Argumen ini didasarkan pada sintesis yang benar-benar baru dan
orisinal dari penelitian baru. Dengan cermat ia memperlihatkan bagaimana
kecerdasan emosional dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri kita semua. Karena
dalam tataran budi pekerti bukanlah rasionalitas atau kecerdasan otak yang
mendominasi walaupun “budi pekerti” itu sendiri bisa dipelajari dengan
“rasionalitas yang bersahabat dengan kecerdasan otak”. “Hati” atau dalam bahasa
psikologinya empati adalah
kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.
Saya
yakin sejak kita sudah mengenal sekolah dasar, bagi siapapun itu, pejabat,
menteri, tukang loak, pengemis,petani, selagi ia bergerak di nusantara yang
masih berbadan serta berjiwa satu ini, kita pasti tahu apa itu kebaikan, menolong,
sabar, jujur, tepo seliro.
Mengutip kalimat ketika saya bercakap-cakap dengan kepala tukang yang berusia
lebih 60 tahunan di pulau Mentawai, di pulau nun jauh dari standar kelayakan,
dia bertutur begini “ kalau
saya tidak teruskan pembangunan sekolah ini, apa lagi yang bisa saya wariskan
kepada cucu-cucu saya ini...”.
Jadi,
walaupun ia ditentang dan tidak dibantu warganya sendiri ketika menjadi kepala
tukang sekolah di daerahnya sendiri, ia hanya berbuat. Yang pasti ia sudah
berbuat untuk dirinya, berbuat untuk masyarakatnya. Di lingkungan bermasyarakat
perbuatan seperti bapak tadi yang lebih mementingkan kepentingan orang banyak,
sangat tidak populer lagi. Hal yang dalam agama dikatakan mulia. Tantangannya
adalah menjadikan perbuatan yang lebih dekat kehati daripada pikiran ini
menjadi lebih layak dan keren untuk di perjuangkan. Mengutip
kalimat Pramoedya Ananta Toer “Dimana-mana aku selalu dengar: yang benar juga
akhirnya yang menang. Itu benar; benar sekali. Tapi kapan ? kebenaran tidak
datang dari langit, dia mesti di perjuangkan untuk menjadi benar”. Semua
perbuatan baik bisa dipelajari, dan mudah diajarkan, asal mau berbuat.Mungkin
bisa terinspirasi dari bapak kepala tukang tadi. Berbuat tidak mesti terlihat
hebat, toh ?
Mentawai,
Mei 2011, Pembangunan sekolah sementara yang jauh dari layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar